Kamis, 03 November 2011

Swasembada Garam vs Konservasi


 

 Selasa, 1 November 2011 saya menghadiri Seminar Nasional “Strategi Swasembada Garam” yang diselenggarakan oleh Balitbang Kelautan dan Perikanan bersama Fakultas Ekologi Manusia IPB. Kebetulan kuliah saya saat itu sedang kosong, seminarnya gratis, jadi kenapa tidak saya ikut seminar ini, toh banyak ilmu baru yang saya dapat. 

Secara garis besar seminar ini membahas tentang apa-apa yang akan dilakukan dalam usaha swasembada beras, meliputi arah kebijakan, usaha ekstensifikasi dan intensifikasi. Ada banyak hal baru yang saya tangkap di sini, terutam hal-hal mendasar tentang garam. Seminar ini cukup ramai, karena banyaknya narasumber yang hadir dan menyampaikan materinya yakni Menteri Kellautan dan Perikanan; Direktur Pemberdayaan masyarakat pengembangan usaha ditjen kelautan pesisir dan pulau-pulau kecil; Ditjen Basis Industri Mmanufaktur kementrian perindustrian, Direktur Utama PT. Garam, Bupati Sampang Madura, Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB, Deputi Klimatologi BMKG, Kepala Balai Besar Riset Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Kepala Puslitbang Sumberdaya Laut dan Pesisir, dan Kepala Pusat Teknologi dan kekayaan Intelektual kementrian perindustrian (heuh..banyak yaaa..) . Saking banyaknya, saya merasa matei yang disampaikan sangat umum dan keterbatasan waktu menyebabkan proses diskusi menjadi kurang sreg..

Garam yang awalnya saya pikir bisa terbentuk secara instan dari air laut yang dikeringkan ternyata tidak demikian. Garam memerlukan beberapa persyaratan yakni satu liter air kadar garamnya minimal 25 gram garam, kelembaban udara yang rendah, pantai yang landai, dan tanah yang tidak porus. Di Indonesia tidak semua pantai cocok untuk bertani garam. Beberapa wilayah yang cocok untuk bertani garam adalah pantai utara jawa, NTB, NTT, dan sulawes bagian selatan. Unruk daerah Sumatra, pantainya tidak sesuai untuk bertani garam karena kadar garm di pesisirnya yang rendah akibat banyaknya aliran sungai.

Nah, pasti banyak yang belum tahu harga gram yang dijual oleh petani kepada pengumpul. Sangat kecil sekali, bayangkan 1 kilo garam yang kelas I dihargai Rp. 750 rupiah. Saat ini produktivitas garam di Indonesia sangat kecil rata-rata hanya 40-50 ton/ha dan kualitas garam di Indonesia jarang yang mencapai kualitas I. kondidi ini sangat berbeda dengan garam impor yang rata-rata sudah mencapai kualitas I. Misalkan harga garam hasil petani dihargai Rp. 500/kg maka penghasilan yang didapat jika mampu produksi sebanyak 25 juta/ ha belum termasuk ongkos angkut dan biaya operasional lainnya. 

Ada beberapa topik bahasan yang cukup mengusik saya yakni usaha swasembada garam ini dengan teknik ekstensifikasi yakni perluasan lahan. Disebutkan oleh pembicara yakni Bapak Slamet Untung yang juga Direktur Utama PT. Garam, untuk swasembada akan dibuka lahan kurang lebih 2000 di Wilayah NTB, kupang dan NTT sebnyak 600-800 Ha dan Gorontalo. Selain itu disebutkan sebelumnya bahwa investor untuk mau berinvestasi jika luasantambak garam > 1000 ha. 

Dari sini, bsa dibayangkan kehancuran ekolgis yang tercipta akibat reklamasi pantai untuk usaha garam. Di sini saya tidak menghakimi usaha ekstensifikasi ini. Tetapi sebelum dilakukan instensifikasi ini alangkah baiknya ada suatu penelitian tentang daya dukung dari kawasan. Selain itu juga harus dipertimbangkan kerugian ekonomi yang muncul akibat potensi banjir dan bencana yang ditimbulkan oleh pembukaan lahan pantai untuk garam secara besar-besaran ini. Jangan sampai petani garam untung tapi mullti sektor lain dirugikan. Oh ya disebutkan pula pada awal diskusi, akibat pola iklim yang tidak menentu juga menyebabkan kerugian dari petani garam. Nah dari siru saja sudah terlihat bagaiman perubahan lingkungan berdampak pada seluruh sektor termasuk petani garam. Kondisi ini tentu tidak diinginkan lagi, menurut saya. 

Satu lagi hasil pemikiran yang tercetus saat mengikuti seminar ini. Ada beberapa statement yang menyebutkan bahwa adanya mangrove menyebabkan penggaraman berjalan lambat karena menghalangi proses penguapan. Nah, demi keberlangsungan ekonomi dan ekologi apakah ada rancangan desain yang menggabungkan mangrove serta tambak garam yang akan menjadi win-win solutions?, atau bahkan mungkin bahwa adanya mangrove di sisi –sisi tambak bisa meningkatkan kualitas garam serta produktivitas garam di Indonesia. Hmm, siapa tahu ada yang berminat meneliti?

NB : materi seminar ini bisa diunduh di http://fema.ipb.ac.id
        sumber gambar dari sini