Selasa, 1 November 2011 saya
menghadiri Seminar Nasional “Strategi Swasembada Garam” yang diselenggarakan
oleh Balitbang Kelautan dan Perikanan bersama Fakultas Ekologi Manusia IPB.
Kebetulan kuliah saya saat itu sedang kosong, seminarnya gratis, jadi kenapa
tidak saya ikut seminar ini, toh banyak ilmu baru yang saya dapat.
Secara garis besar seminar ini
membahas tentang apa-apa yang akan dilakukan dalam usaha swasembada beras,
meliputi arah kebijakan, usaha ekstensifikasi dan intensifikasi. Ada banyak hal
baru yang saya tangkap di sini, terutam hal-hal mendasar tentang garam. Seminar
ini cukup ramai, karena banyaknya narasumber yang hadir dan menyampaikan
materinya yakni Menteri Kellautan dan Perikanan; Direktur Pemberdayaan masyarakat
pengembangan usaha ditjen kelautan pesisir dan pulau-pulau kecil; Ditjen Basis
Industri Mmanufaktur kementrian perindustrian, Direktur Utama PT. Garam, Bupati
Sampang Madura, Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB, Deputi
Klimatologi BMKG, Kepala Balai Besar Riset Ekonomi Kelautan dan Perikanan,
Kepala Puslitbang Sumberdaya Laut dan Pesisir, dan Kepala Pusat Teknologi dan
kekayaan Intelektual kementrian perindustrian (heuh..banyak yaaa..) . Saking banyaknya, saya merasa matei yang disampaikan sangat umum dan keterbatasan waktu menyebabkan proses diskusi menjadi kurang sreg..
Garam yang awalnya saya pikir
bisa terbentuk secara instan dari air laut yang dikeringkan ternyata tidak
demikian. Garam memerlukan beberapa persyaratan yakni satu liter air kadar
garamnya minimal 25 gram garam, kelembaban udara yang rendah, pantai yang
landai, dan tanah yang tidak porus. Di Indonesia tidak semua pantai cocok untuk
bertani garam. Beberapa wilayah yang cocok untuk bertani garam adalah pantai
utara jawa, NTB, NTT, dan sulawes bagian selatan. Unruk daerah Sumatra, pantainya
tidak sesuai untuk bertani garam karena kadar garm di pesisirnya yang rendah
akibat banyaknya aliran sungai.
Nah, pasti banyak yang belum tahu
harga gram yang dijual oleh petani kepada pengumpul. Sangat kecil sekali,
bayangkan 1 kilo garam yang kelas I dihargai Rp. 750 rupiah. Saat ini
produktivitas garam di Indonesia sangat kecil rata-rata hanya 40-50 ton/ha dan
kualitas garam di Indonesia jarang yang mencapai kualitas I. kondidi ini sangat
berbeda dengan garam impor yang rata-rata sudah mencapai kualitas I. Misalkan
harga garam hasil petani dihargai Rp. 500/kg maka penghasilan yang didapat jika
mampu produksi sebanyak 25 juta/ ha belum termasuk ongkos angkut dan biaya
operasional lainnya.
Ada beberapa topik bahasan yang
cukup mengusik saya yakni usaha swasembada garam ini dengan teknik
ekstensifikasi yakni perluasan lahan. Disebutkan oleh pembicara yakni Bapak
Slamet Untung yang juga Direktur Utama PT. Garam, untuk swasembada akan dibuka
lahan kurang lebih 2000 di Wilayah NTB, kupang dan NTT sebnyak 600-800 Ha dan
Gorontalo. Selain itu disebutkan sebelumnya bahwa investor untuk mau
berinvestasi jika luasantambak garam > 1000 ha.
Dari sini, bsa dibayangkan
kehancuran ekolgis yang tercipta akibat reklamasi pantai untuk usaha garam. Di sini
saya tidak menghakimi usaha ekstensifikasi ini. Tetapi sebelum dilakukan
instensifikasi ini alangkah baiknya ada suatu penelitian tentang daya dukung
dari kawasan. Selain itu juga harus dipertimbangkan kerugian ekonomi yang
muncul akibat potensi banjir dan bencana yang ditimbulkan oleh pembukaan lahan
pantai untuk garam secara besar-besaran ini. Jangan sampai petani garam untung
tapi mullti sektor lain dirugikan. Oh ya disebutkan pula pada awal diskusi,
akibat pola iklim yang tidak menentu juga menyebabkan kerugian dari petani
garam. Nah dari siru saja sudah terlihat bagaiman perubahan lingkungan
berdampak pada seluruh sektor termasuk petani garam. Kondisi ini tentu tidak
diinginkan lagi, menurut saya.
Satu lagi hasil pemikiran yang
tercetus saat mengikuti seminar ini. Ada beberapa statement yang menyebutkan
bahwa adanya mangrove menyebabkan penggaraman berjalan lambat karena
menghalangi proses penguapan. Nah, demi keberlangsungan ekonomi dan ekologi
apakah ada rancangan desain yang menggabungkan mangrove serta tambak garam yang
akan menjadi win-win solutions?, atau bahkan mungkin bahwa adanya mangrove di
sisi –sisi tambak bisa meningkatkan kualitas garam serta produktivitas garam di
Indonesia. Hmm, siapa tahu ada yang berminat meneliti?
NB : materi seminar ini bisa diunduh di http://fema.ipb.ac.id
sumber gambar dari sini